Bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan, semakin sering terjadi di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi yang besar, tetapi juga memakan korban jiwa. Perubahan iklim dan cuaca yang ekstrem, perubahan tekanan udara yang mendadak, La Nina dan El Nino, musim kemarau dan penghujan yang panjang seringkali memicu terjadinya bencana hidrometeorologi.
Hidrometeorologi sendiri merujuk pada proses alam di mana kondisi atmosfer mempengaruhi pola ketersediaan air di permukaan bumi. Dampaknya bisa sangat bervariasi, mulai dari surplus air yang menyebabkan banjir, hingga kekurangan air yang berujung pada kekeringan. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, tercatat 5.400 kejadian bencana di Indonesia pada tahun 2023, dengan 99.35% didominasi bencana hidrometeorologi dan sisanya bencana geologi.
Berkaca dari kondisi tersebut, mitigasi terhadap bencana hidrometeorologi harus difokuskan pada pengurangan risiko melalui perencanaan tata ruang yang baik, pembangunan infrastruktur yang tahan bencana, serta peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. Pemerintah, melalui berbagai kebijakannya, perlu memastikan bahwa daerah-daerah rawan bencana dilengkapi dengan sistem peringatan dini yang efektif dan infrastruktur yang memadai. Selain itu, pendekatan berbasis ekosistem, seperti pelestarian hutan dan pengelolaan DAS, juga harus menjadi bagian integral dari strategi mitigasi.
Tidak hanya itu, adaptasi terhadap perubahan iklim juga menjadi kunci dalam menghadapi bencana hidrometeorologi. Ini mencakup berbagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi cuaca yang tidak menentu dan dampak jangka panjang dari perubahan iklim. Misalnya, pembangunan sistem irigasi yang lebih efisien dan tahan terhadap perubahan cuaca, serta pengembangan teknologi pertanian yang lebih adaptif terhadap perubahan pola curah hujan. Edukasi dan pemberdayaan masyarakat juga harus terus ditingkatkan agar mereka lebih siap dalam menghadapi perubahan iklim dan dampaknya.
source